Kamis, 26 Mei 2011

Perlu Revolusi Mental Tahap Kedua

CEO Note Edisi Medio Mei 2011
Oleh: Dahlan Iskan - CEO PT PLN (Persero)

Tidak terasa “puasa SPPD” sudah separo jalan. Tinggal kurang dari 15 hari lagi. Dari pengalaman “puasa SPPD” selama 15 hari pertama bulan Mei 2011 ini rasanya tidak ada yang terlalu berat. Seluruh jajaran PLN tampaknya akan berhasil menjalani “puasa SPPD” ini sampai sebulan penuh. Hebat! Ujian mental yang terberat akan segera terlewati. Tahap awal sebuah proses perubahan pola pikir sedang dalam akhir ujiannya. Apa sajakah pengalaman berat selama dua minggu “puasa SPPD” ini? Adakah kejadian maha berat yang sampai membuat batal puasa? Atau adakah yang hanya kuat puasa sampai waktu bedug --setengah hari? Adakah yang sampai kelaparan dan kehausan yang tak tertahankan?
Semuanya ternyata baik-baik saja. Memang ada tanah longsor di Aek Sibuan, nun di luar kota Padang Sidempuan, Sumut. Tanah longsor dan hujan angin itu merobohkan delapan tiang listrik sekaligus. Tapi persoalan ini cepat diatasi. Bung Sudirman, Kepala PLN Cabang Padang Sidempuan yang baru sebulan bertugas di sana pindahan dari Jatim, dengan cepat mengatasinya tanpa SPPD.
Kalau pun robohnya tiang-tiang listrik pada jam 19.00 itu tidak bisa pulih malam itu juga bukan lantaran tiadanya SPPD. Malam itu hujan deras tidak henti-hentinya mengguyur Aek Sibuan. Namun, begitu hujan reda, pekerjaan cepat diselesaikan. Oleh teman-teman Cabang sendiri. Pagi harinya pasokan listrik untuk sekitar Padang Sidempuan sudah normal kembali. Pimpinan Wilayah PLN Sumut, Krisna Simbaputra, memonitornya dari Medan, tentu tanpa SPPD.
Bung Krisna juga tetap bisa menegakkan integritas di bulan puasa SPPD ini. Minggu kedua Mei 2011 ini, seorang kepala Ranting di kawasan yang jauhnya hampir 100 km dari Medan dilaporkan menerima suap dari pelanggan. Meski nilainya tidak ratusan juta, tapi yang beginian tidak bisa ditoleransi lagi. Tindakan untuk Kepala Ranting itu tetap bisa dilakukan tanpa terhambat oleh program puasa SPPD. Ujian terberat tentu di Lampung. PLN Lampung memang lagi dapat tugas darurat dalam skala yang besar.
Tiba-tiba saja PLN harus mengambil alih pelayanan listrik untuk lebih dari 70.000 pelanggan koperasi yang pindah ke PLN. Ijin kelistrikan koperasi ini dicabut oleh Pemerintah. Padahal jaringan maupun meteran pelanggan sebanyak itu sudah dalam keadaan parah yang harus diganti semua. Ada syarat lain: tidak boleh ada gejolak.
Peralihan ini harus berjalan mulus. Jajaran PLN Lampung, terutama di tiga kabupaten sekitar Metro, bekerja sangat keras di bulan puasa ini. “Tapi teman-teman PLN cabang Metro bertekad untuk menyelesaikannya tanpa bantuan dari cabang lain,” ujar GM Wilayah Lampung Bung Agung Suteja. Direktur Operasi Indonesia Barat, Bung Harry Jaya Pahlawan, memonitor ketat melalui sarana komunikasi yang tersedia. Bagi Kepala PLN Cabang Metro, Bung Syarbani Sofyan, inilah
kesempatan untuk menorehkan sejarah hidup yang berarti : mampu melaksanakan tugas sangat besar dengan resiko politik yang tinggi tanpa harus bersandar kepada Cabang lainnya. Padahal Syarbani baru sebulan di jabatan itu.
Untunglah sebelumnya dia sudah 2 tahun sebagai Mancab Kotabumi dan sebelumnya lagi sebagai Mancab nun di Sumba. Bagaimana dengan Konferensi internasional meteran di Bali? Ternyata bisa terlaksana dengan sukses. Dari PLN Pusat Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko, Pak Murtaqi Syamsuddin yang hadir: membuka, memberikan pidato kunci dan mengikuti sesi-sesi diskusi. Beliau juga share mengenai apa saja yang dibicarakan di situ kepada teman-teman BOD secara berkala lewat blackberry.
Pak Murtaqi tidak perlu mengantongi SPPD karena statusnya yang lagi sengaja cuti ke Bali.
Selama dua minggu ini, saya sendiri hanya dua kali ke luar kota. Pertama ke Bandung untuk berbicara di depan Rapat Kerja jajaran PT Pos dan Giro se Indonesia. Dirut dan seluruh Direksinya hadir lengkap. Saya diminta sharing mengenai pengalaman memimpin perubahan besar di PLN. PT Pos dan Giro bukan BUMN pertama yang minta sharing seperti itu. Sudah banyak. Di forum seperti itu biasanya saya ceritakan apa saja yang dilakukan teman-teman PLN sekarang ini.
Tepuk tangan pun menggema setiap saya ceritakan keberhasilan berbagai daerah melaksanakan perubahan ini. Saya lihat Corporate Secretary, Bung Mardawa, hadir di Bandung itu. Saya tanya pakai SPPD apa? “Tidak pakai SPPD,” katanya. “Secara pribadi saya ingin tahu bagaimana respons BUMN lain terhadap PLN. Ternyata sangat membanggakan,” tambahnya.
Ke luar kota saya yang kedua adalah ke Ambon, Seram, Saparua dan Makassar. Semua itu saya lakukan hanya dengan menginap satu malam di Masohi, pulau Seram. Tiba di Ambon pukul 15.00, saya langsung ke proyek PLTU Wai. Saya tidak menduga kalau ada persoalan di sini. Semula saya ingin menyenangkan diri untuk melihat proyek yang sedang seru-serunya dibangun. Eh, ternyata lagi ada sengketa harga tiang pancang.
Rapat jarak-jauh terpaksa dilakukan untuk membereskannya. Dari proyek ini, kami langsung naik speedboat ke pulau Seram. Menjelang maghrib barulah kami tiba. GM Wilayah Maluku dan Maluku Utara, Bung Nyoman Astawa beserta jajarannya menemani saya tanpa SPPD.
Dilanjutkan dengan perjalanan darat empat jam. Menjelang pukul 24.00 kami baru tiba di Masohi. Ini karena kami mampir-mampir ke kantor PLN sub-ranting beserta PLTD-nya. Dialog dengan karyawan PLN Masohi baru bisa dilakukan tengah malam. Itu pun dilakukan di halaman kantor yang cukup luas di bawah terangnya cahaya lampu mercury dan diselingi suara deburan ombak dari pantai di belakang kantor.
Saya melihat betapa banyak PLTD kecil di sepanjang pulau Seram ini. Kondisi mesinnya juga sudah sangat tua. Salah satu Ranting di situ, Ranting Kairatu, punya dua penyulang . Sebulan terakhir jumlah gangguannya 63 kali sebulan. Ini berarti tiap hari ada mati lampu di kawasan Kairatu. Anehnya Kepala Ranting Kairatu tidak terlihat gelisah. Mungkin di dalam hatinya justru bangga. Gangguan yang 63 kali itu adalah sebuah prestasi baru. Dulu-dulunya 102 kali!

Saya merenungkan dalam-dalam situasi seperti itu. Saya hampir tidak bisa tidur di sisa malam yang pendek itu. Saya memang tidak puas akan sikap mental yang tidak gelisah ketika melihat ada gangguan 63 kali untuk dua penyulang seperti itu. Tapi di lain pihak saya bisa mengerti mengapa harus gelisah kalau gangguan itu sudah berhasil diturunkan secara drastis? Dari 102 kali ke 63 kali?
Hasil kontemplasi saya adalah ini: kita perlu melakukan revolusi mental tahap kedua. Revolusi mental tahap pertama sudah berhasil kita lakukan: menyadari gangguan ratusan kali sebulan itu tidak boleh terjadi. Revolusi mental tahap dua harus menghasilkan kesadaran bahwa mati lampu 63 kali itu belum bisa diterima masyarakat. Jumlah mati lampu sebanyak itu masih jauh dari target hanya boleh 9 kali setahun.
Teman-teman PLN di Jawa/Bali sudah berhasil melakukan revolusi kedua ini. Tapi saya masih melihat teman-teman PLN luar Jawa, baik di Indonesia Barat maupun Indonesia Timur, masih harus berjuang untuk menghadapi dan memenangkan revolusi kedua tersebut tahun ini. Termasuk, misalnya, yang terjadi di Palembang. Bagaimana bisa dan bagaimana masih terjadi di Palembang mati lampu, di satu lokasi, di dalam kota, yang sampai sembilan kali selama sebulan, tanpa tertangani dengan baik.
Kontemplasi itu tidak berlanjut karena jam sudah menunjukkan pukul 05.00. Sudah waktunya harus ke dermaga. Pagi-pagi kami ingin ke pulau Saparua, agar tidak telat menghadiri acara pokok di Ambon pukul 10.00. Pagi itu, ketika mulai meninggalkan dermaga, cuaca sangat cerah. Pagi yang indah di pantai Masohi. Namun ketika speedboat sudah meraung selama 15 menit, mulailah gelombang datang. GM Maluku, Bung Nyoman, masih bisa menenangkan hati saya. “Biasa pak Dis, kalau meninggalkan wilayah teluk mesti bergelombang begini,” katanya.
“Inilah gelombang yang diakibatkan bertemunya arus laut terbuka dengan laut di kawasan teluk,” tambahnya. Ternyata tidak begitu. Ketika speedboat kian ke tengah laut, gelombang pun kian tinggi. Speedboat pun terhentak-hentak keras. Saya sudah mulai melirik di mana pelampung-pelampung diletakkan. Oh, tidak jauh dari jangkauan tangan saya. Kalau mendadak situasi darurat, saya akan bisa meraih pelampung itu dengan mudah.
Cuaca ternyata benar-benar dengan cepat memburuk. Langit gelap. Mendung tebal menggelayut. Hujan pun bresss turun di tengah laut. Pengemudi speedboat tiba-tiba menoleh ke belakang. Dia mengucapkan kata-kata dengan nada minta keputusan. “Kian ke depan gelombang kian tinggi. Kita tidak bisa meneruskan perjalanan ke Saparua. Baiknya membelok ke arah pulau Haruku,” katanya. Yah, apa boleh buat. Niat ke Saparua pun batal. Bahkan ke Haruku pun juga tidak mampu. Speedboat membelok langsung ke arah pulau Ambon. Berarti masih akan menempuh perjalanan 1 jam lagi. Saya lihat dari delapan jirigen bensin masih tersisa dua jirigen. Rasanya masih cukup untuk sampai di Ambon.
Jam 9 pagi kami sudah tiba di Ambon. Acara kami berikutnya adalah dialog dengan seluruh Walikota di wilayah Indonesia Timur di Swissbell Hotel, Ambon. Namun saya minta disempatkan mampir di proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi di Tulehu. Pengeboran di sini sudah dimulai tapi mengalami hambatan. Di kedalaman 900 meter mata bornya terjepit batu. Kini pengeboran sedang dihentikan. Minggu depan sudah akan dimulai lagi, mengebor dalam posisi miring.
Meski ada hambatan, PLTP ini sudah kelihatan memberi harapan. Dari kedalaman 900 meter tersebut sudah “tercium” potensi yang sesungguhnya. Di luar kemampuan manajerial dan keilmulistrikannya, saya harus angkat jempol pada kemampuan mengemudikan mobil GM Maluku kita. Dalam waktu yang sangat mepet, dalam keadaan lalu-lintas kota Ambon yang padat, ditambah hujan yang menggutus, Bung Nyoman mengendarai mobil dengan trampil.
Tepat sampai bandara, pesawat Sriwijaya Air sudah menunggu untuk terbang ke Makassar. Teman-teman PLN Makassar sudah menunggu rapat penting untuk konsep ke depan kelistrikan di Sultanbatara. Malam itu juga, tanpa SPPD, kami menyelesaikan perjalanan ini dengan penuh nikmat.
Untuk menanggapi CEO’s Note silakan ditujukan ke ceonote@pln.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar