SAYA harus minta maaf, entah kepada siapa. Sebagai orang yang harus
mengurus kepentingan listrik untuk rakyat seluruh Indonesia, nyatanya
saya baru tahu kali ini bahwa ada kota yang bernama Penyabungan Ini pun
saya ketahui secara kebetulan. Yakni saat saya melakukan perjalanan
darat yang panjang dari Padang di Sumbar ke Siborong-borong di Sumut.
Sebagai penebusan dosa itu, saya memutuskan untuk bermalam di
Penyabungan seraya membatalkan hotel di kota yang lebih besar, Padang Si
dempuan. Apalagi saat tiba di Penyabungan jam sudah menunjukkan pukul
23.00. Belum makan malam pula. Juga masih harus mengadakan rapat dengan
para pimpinan PLN ranting se-Tapanuli Selatan. Rapat tengah malam yang
menyenangkan.
Apalagi sudah tidak banyak lagi persoalan. Semua pimpinan ranting
sudah hafal di luar kepala jumlah trafo di wilayah masing-masing. Juga
hafal berapa kali mati lampunya. Mereka juga hafal mengelola berapa
penyulang dan berapa kali penyulang itu mengalami gangguan. Lalu, apa
saja yang mengakibatkan gangguan itu. Dulu tidak mungkin mengingat
penyebab gangguan seperti itu saking banyaknya gangguan. Satu-satunya
persoalan berat di Tapanuli Selatan tinggal satu: ada sebuah penyulang
yang kelewat panjang, sampai 300 km. Yakni penyulang yang mengalirkan
listrik dari gardu induk (GI) di Sidempuan ke sebuah kota kecil yang
terletak di pesisir barat Tapanuli. Yakni Kota Natal.
Akibatnya, tegangan listrik di Natal sangat lemah. Tidak kuat untuk
menyalakan TV di malam hari. Dalam rapat menjelang jam 00.00 itu pun,
kami putuskan: mengadakan pembangkit listrik kecil di ujung penyulang
itu di Natal. Ini harus sudah terlaksana dalam tiga bulan ke depan.
Pimpinan PLN Wilayah Sumut Krisna Simbaputra yang bertanggung jawab
mengadakannya. Persoalan lain yang kecil-kecil akan diatasi sendiri oleh
para pimpinan ranting. Tidak ada lagi krisis listrik di sini. Daftar
tunggu juga sudah habis. Mati lampu juga sudah jarang. Maka, pada sisa
malam itu, di sebuah hotel yang tidak berbintang, kami bisa tidur
nyenyak di Penyabungan. Saya heran melihat Kota Penyabungan ini: mengapa
sampai pukul 23.00 masih banyak toko yang buka. Kota masih terang
benderang. Sayangnya, saya tidak berhasil mendapat jawabnya.
Pukul 05.00, ketika Penyabungan masih gelap, kami sudah harus
berangkat ke Padang Sidempuan, Sarulla, dan ke Siborongborong. Dari
semua titik itu, tentu Sarulla yang paling menggiurkan: ada proyek
geothermal 330 MW yang macet sangat lama di situ. Ini sungguh menantang.
Proyek ini sudah lebih 10 tahun tidak jalan. Persoalannya pun sangat
ruwet. Padahal, wilayah sekitar sangat membutuhkannya. Padahal, lahannya
sudah siap. Padahal, potensi panas buminya sudah nyata. Padahal, yang
diperlukan tinggal keputusan. Dengan melihat sendiri Sarulla, saya kian
yakin bahwa PLN –tidak perlu begitu banyak pihak– bisa menyelesaikannya.
PLN kini memang lagi berjuang untuk mendapatkan kembali proyek yang
dulu pernah dimiliki oleh PLN itu. Dalam rapat-rapat di berbagai forum
yang sangat tinggi, saya menjamin, kalau proyek ini ditangani PLN, tahun
depan Sarulla sudah menghasilkan listrik.
Tentu bertahap dari 10 MW, lalu 75 MW, dan akhirnya 330 MW. Direktur
Perencanaan dan Teknologi Nasri Sebayang, yang dalam perjalanan ini
lebih banyak pegang kemudi, sudah membuat perencanaan proyek Sarulla
dengan sangat matang. Persiapan pengadaannya pun sudah dia selesaikan.
Direktur keuangan yang tumben kali ini tertarik ikut safari, Setyo
Anggoro Dewo, juga sudah menghitung betapa feasible-nya proyek
ini. Direktur Operasi Indonesia Barat Harry Jaya Pahlawan sudah sangat
menunggu listrik itu untuk kemajuan Sumut. Betapa siapnya PLN menggarap
proyek ini. Jauh lebih realistis daripada dikerjakan sekaligus oleh
investor, tapi baru menghasilkan listrik lima tahun lagi.
Itu pun kalau investor tersebut bisa menyelesaikan persoalan yang
selama ini begitu rumitnya. Perjalanan panjang setelah Lebaran ini
ditutup dengan kunjungan ke gubernur Sumut di Medan. Apa lagi agendanya
kalau bukan soal izin lokasi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Asahan
III yang tidak kunjung keluar itu. Sebuah pertemuan yang sangat terbuka
yang akhirnya kami tahu mengapa izin itu sudah enam tahun belum juga
kami dapat. Begitu banyak kota kecil yang baru kali ini saya lewati:
Lubuk Sikaping, Bonjol, dan Pasaman di Sumbar sampai ke nama-nama
seperti Kotanopan, Siabu, dan Sipirok di perbatasan Sumut. Nama-nama
itu, termasuk nama Penyabungan yang mengesankan itu, akan terpatri abadi
di sanubari. Termasuk persoalan yang ada di dalamnya.
Dahlan Iskan
CEO PLN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar