Menyusuri punggung pegunungan Bakit Barisan di pantai barat Sumatera
hari Minggu dan Senin lalu (2 dan 3 Oktober 2011), saya terus terpikir
betapa akan mahalnya menyediakan listrik untuk wilayah ini. Dari satu
kota kecil ke kota kecil lainnya jaraknya seperti dari Belanda ke
Luxemburg. Bahkan lebih berat dari itu. Harus melewati hutan dan gunung.
Pilihannya serba simalakama. Dilayani dengan jaringan kecil tegangan
listriknya rendah. Dilayani dengan transmisi besar biayanya akan
bertriliun-triliun.
Membayangkan semua kesulitan itu saya bermimpi betapa mudahnya
menyiapkan listrik untuk negara seperti Singapura: wilayahnya kecil,
tidak ada hutan dan gunung, kampung-kampungnya berdekatan dan bahkan
jarak antar rumahnya seperti amplop dan perangko: semua rumah saling
menempel karena berbentuk rumah susun yang tinggi.
Sedang untuk melistriki punggung Sumatera yang panjang ini otak
benar-benar harus diputar. Maka biar pun perjalanan ini berkelok-kelok,
naik dan turun, rasanya tidak akan sempat mabuk. Pikiran terjepit di
antara pilihan-pilihan yang serba sulit. Apalagi banyak hutan lindung
yang tidak bisa disentuh.
Kota-kota yang saya lalui ini (Pringsewu, Ulubelu, Kota Agung,
Wonosobo, Banjarnegoro, Krui, Manna, Binahun dan berakhir di Bengkulu)
memang sudah berlistrik. Tapi kualitasnya masih jelek. Jarak antar kota
itu lebih jauh dari Zurich di Swiss ke Paris di Perancis.
Kualitas listrik yang jelek itu pun diproduksi dengan cara yang amat
mahal. Menggunakan diesel. Sudah biayanya mencapai Rp 2.500/kWh masih
sering mati-mati pula. Padahal harga jualnya ke masyarakat hanya Rp
650/kWh.
Perjalanan ini harus menemukan jalan keluarnya. Sepanjang jalan kami,
saya dan beberapa pimpinan PLN setempat, terus mendiskusikannya. Kota
kecil seperti Muko-muko dan Ipoh benar-benar sulit dipecahkan. Sangat
jauh. Untuk membangun transmisi ke sini diperlukan biaya Rp 2 triliun.
Padahal penduduknya hanya sedikit.
Mahalnya itu karena letak Muko-muko dan Ipoh di pertengahan antara
gardu induk Padang dan gardu induk Bengkulu. Transmisinya harus ditarik
dari Padang yang berjarak hampir 500 km. Sama dengan menarik transmisi
dari Jakarta ke Semarang. Padahal ada gardu induk lain yang jaraknya
hanya 70 km. Namun gardu induk itu berada di balik hutan lindung yang
tidak bisa dilewati transmisi.
Bagaimana dengan kota-kota lainnya?
Untunglah proyek geothermal (panas bumi) Ulubelu di kabupaten
Tanggamus berjalan lancar. Proyek yang kontraknya saya tandatangani 1,5
tahun lalu dengan Sumitomo ini hampir selesai. Bulan April nanti sudah
akan memproduksi listrik 110 MW. Ketika meninjau proyek ini dan kemudian
menelusuri kota-kota kecil di wilayah ini, terpikir ide baru.
Untuk Pringsewu, Kota Agung dan Wonosobo diambilkan saja listriknya
langsung dari Ulubelu. Caranya cukup dengan membangun jaringan 20 kV
sepanjang sekitar 40 km dari Ulubelu ke Wonosobo dan Kota Agung. Mesin
diesel 10 MW yang boros di Wonosobo bisa diakhiri riwayatnya.
Alhamdulillah, tiga kota ini bisa menemukan masa depan yang cerah untuk
kelistrikannya. Saya membayangkan industri kopinya akan maju karena
wilayah ini penghasil kopi yang sudah terkenal sejak zaman Belanda.
Tambang emasnya juga bisa digarap. Saya terkesan dengan kampung-kampung
di kabupaten Tanggamus ini. Begitu banyak rumah panggung tua yang sangat
khas masa lalu. Bangunan-bangunan permanennya pun menunjukkan masa lalu
yang jaya wilayah ini. Rencana membangun proyek transmisi yang mahal
dari Pringsewu ke Kota Agung pun bisa dibatalkan.
Semula kami bermaksud bermalam di Manna. Setelah dikalkulasi
kira-kira baru pukul 01.00 akan tiba di kota itu. Maka kami pun menyerah
di kota Krui. Di sebuah losmen yang tidak menyediakan handuk dan sikat
gigi. Tapi kami gembira bisa bermalam di Krui. Sebuah kota dengan masa
lalu yang membuat bangga. Inilah kota yang dulunya, di masa jaya kopi
dan cengkeh, menjadi pusat niaga.
Keesokan harinya, setelah olahraga jalan kaki di pantai Krui bersama
teman-teman PLN setempat kami berangkat ke Manna. Teman-teman dari
Lampung kembali ke Lampung. Diskusi mengenai kelistrikan Lampung sudah
selesai. Ganti teman-teman dari PLN Bengkulu yang masuk ke mobil saya.
Siap diskusi sepanjang jalan mengenai persoalan yang dihadapi Bengkulu.
Sudah lama kota-kota kecil di Bengkulu Selatan ini menderita. Bahkan
masyarakat kota Binahun pernah sangat marah. Membakar kantor PLN
setempat berikut pembangkit listriknya. Sambil singgah menyaksikan
puing-puing akibat pembakaran itu saya mendengarkan kisah petugas PLN
setempat. Terutama mengenai seorang istri petugas PLN yang sedang hamil
delapan bulan yang harus sembunyi di bawah kolong tempat tidur untuk
menghindari hujan batu. Dia sendirian di rumah itu karena suaminya
sedang mencari bantuan ke kantor polisi.
Enam bulan lagi kota ini akan mendapat listrik dengan kualitas yang
cukup baik. Yakni karena proyek transmisi dari Pagar Alam di Sumsel ke
kota Manna sudah hampir selesai. Memang ada dua kendala yang berat, tapi
dalam diskusi di perjalanan ini ditemukan cara mengatasinya. Yusuf
Mirand yang memimpin pembangunan itu punya usul yang jitu yang langsung
saya setujui untuk dilaksanakan. Maka akhir Desember nanti proyek ini
selesai.
Mendengar kabar baik ini, Bupati Bengkulu Selatan yang mencegat saya
di pinggir jalan sebelum masuk kota Manna langsung mengumpulkan pemuka
masyarakat di pendopo kabupaten. Saya diminta menyampaikan kabar
tersebut langsung ke tokoh-tokoh setempat.
Bupati ini memang harus kerja keras. Terpilih jadi bupatinya saja
dengan susah payah. Inilah pilkada kabupaten kecil yang diikuti oleh
sembilan pasang calon. Pilkadanya pun sampai tiga kali, bahkan nyaris
empat kali.
Dahlan Iskan
CEO PLN
LuckyClub Casino Site » 100% Up To €/$1000 Bonus + 150 FS
BalasHapusLuckyClub is a new member of the group of online gambling companies founded in 2015. Since then, LuckyClub has enjoyed an excellent reputation as luckyclub one of the